Saya senang sekali menjadi band pembuka konser Maher Zain yang digelar di Sasana Budaya Ganesha. Padahal dalam tur bang Maher saat itu dibeberapa kota, hanya di Bandung yang ada band pembukanya. Edcoustic dan Ebith beat A.
Rasa bangga itu mulai tergerus jadi kesal. Diawali dengan permintaan Edcoustic untuk cek sound yang kebagian malam hari, H – 1. Nyatanya malam hari itu berjam-jam kita menunggu, tim Maher Zain tak kunjung beres melakukan cek sound. Dan akhirnya tidak mendapat waktu. Pihak panitia menjanjikan cek sound lagi sore besok menjelang konser.
Edcoustic ngotot minta cek sound, karena kita membawa band akustik. Kesalahan fatal kalau kita tidak cek sound untuk acara sebesar ini. Ketika sore hari menjelang konser, kita tetap tidak kebagian cek sound. Akhirnya kita cek sound 10 menit sebelum tampil. Colok sana colok sini, kita diburu waktu untuk cek sound. Seorang panitia terus menerus bilang:
“Ayo cepat.. cepat.. bentar lagi pintu mau dibuka”
Pontang panting band kita cek sound seadanya. Dengan mixer sound sisa, karena semua sudah dikuasai band nya Maher Zain. Dengan waktu yang sangat terbatas.
Itu yang bikin saya naik pitam. Ditambah kita memang betul-betul band pembuka. Band yang harus langsung jreng tampil saat pintu masuk penonton dibuka. Serasa jadi band café, menyanyi diantara riuhnya penonton yang mencari tempat duduk. Saat semua penonton sudah tertib duduk, Edcoustic selesai tampil. Huft.
Saya kesal karena merasa diremehkan. Waktu cek sound yang mepet. Tampil paling awal tanpa perhatian serius para penonton. Apalagi beberapa oknum panitia memandang sebelah mata keberadaan kita disana. Seakan-akan kita benalu.
Kemarahan saya mungkin terdengar juga ke telinga panitia level atas. Dan secara tidak sengaja mereka menegur saya. Memang tidak langsung bilang, tapi kepala saya seperti dipukul. Sadar den!
Perjuangan mereka untuk memasukkan saya ke acara ini, buka main. Tim Maher Zain sangat selektif. Seharusnya saya bersyukur atas perjuangan tim EO Acres. Berarti Edcoustic punya bargaining position yang baik, hingga bisa jadi band pembuka artis internasional. Tanpa Edcoustic pun, konser tetap bisa berjalan dan tidak menurunkan value acara ini.
Review dari keseluruhan acara, Edcoustic yang paling hancur tampilnya. Musik live nya tidak balance, beberapa alat band bernada kurang tepat, musik dan vocal saling berlarian. Untung saja kita paling awal. Disaat penonton masih sibuk cari tempat duduk. Disaat penontonnya ribut tidak karuan. Jadi suara sumbangnya tidak terlalu terdengar jelas.
Saya pikir kemarahan saya beralasan, jikalau memang tampilnya memukau. Ini mah tampil paling buruk, marah-marahnya paling vokal. Serasa artis berkelas, tapi kelakuannya tidak manner. Dimana kerendahatian seorang musisi religi? Saya seperti dipukul palu godam.
Disini saya tidak sedang membuka aib Edcoustic. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa kami berdua masih manusia. Pasti berbuat kesalahan, disamping kebaikan. Dan peristiwa diatas adalah salah satu dari kesalahan kami. Dan saya mengakui kesalahan itu.
Saya banyak belajar dari kejadian itu. Tidak sepantasnya kita merasa besar, padahal kecil. Melimpahkan kesalahan, padahal kita yang banyak kekurangan.
Sikap arogan tidak menyelesaikan masalah. Malah menambah masalah baru. Yakni hilangnya kredibilitas. Saya tersanjung melihat kesederhanaan dan kerendahatian seorang maestro, Erwin Gutawa. Pada sebuah acara Anugerah Musik Indonesia, dijajaran penonton dia masih bersikap rendah hati. Padahal baru saja dia menggondol piala. Senyumnya. Keramahannya. Tutur katanya. Saya bilang seperti itu karena saya duduk tak jauh dari beliau.
Seorang maestro saja masih bersikap low profile. Kenapa kita yang musisi kelas teri bersikap arogan.
Konser Maher Zain menyisakan pelajaran yang sangat berharga bagi Edcoustic. Semoga ini jadi pelajaran juga buat kita semua. Dalam bidang apapun. Dalam level jabatan apapun. Tetaplah rendah hati.